Budi Arie Setiadi Mantan Wartawan, dari Menkoinfo menjadi Menteri Koperasi di Kabinet Prabowo-Gibran

Profil Menteri Kabinet Merah Putih

WARTASIBER.co.id – Budi Arie Setiadi, (lahir 20 April 1969) adalah politikus dan mantan wartawan Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koperasi Indonesia. Sebelumnya, di bawah kepemimpinan presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, ia menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia sejak 17 Juli 2023 hingga dibubarkannya Kabinet Indonesia Maju. menggantikan Johnny G Plate yang terlibat korupsi, setelah menjabat sebagai Wakil Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sejak 2019.

Ia pernah menjadi pendiri dan Ketua Umum Projo, organisasi relawan darat pendukung Joko Widodo pada 2014 lalu. Ia dan Projo juga secara terbuka mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden 2024.

Kehidupan awal dan pendidikan

Budi Arie Setiadi lahir di Jakarta pada tanggal 20 April 1969 sebagai anak dari pasangan Joko Asmoro dan Pudji Astuti.[2] Ia tumbuh dan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Jakarta. Ia memulai pendidikan formalnya di SD Marsudirini di Koja, Jakarta Utara dan lulus dari sekolah menengah pertama di lembaga yang sama. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Kolese Kanisius Jakarta Pusat, pada tahun 1986 dan lulus pada tahun 1988. Setelah menyelesaikan SMA, Setiadi mulai belajar ilmu komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).

Budi mengikuti berbagai organisasi mahasiswa, seperti pers mahasiswa, komunitas olahraga, dan organisasi politik mahasiswa. Dia dijuluki Muni selama waktunya di universitas. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FISIP UI pada tahun 1994, serta anggota presidium senat mahasiswa UI dari tahun 1994 hingga 1995. Setiadi terlibat dalam pendirian Forum Studi Mahasiswa UI (FSM) dan aktif terlibat dalam Kelompok Pembela Mahasiswa (KPM) UI. Di bidang jurnalistik, Setiadi menjadi pemimpin redaksi majalah mahasiswa UI, Suara Mahasiswa, dari tahun 1993 hingga 1994.

Saat reformasi bergejolak 1998, ia menginisiasi dan mendirikan surat kabar yang kritis, “BERGERAK” pada tahun 1998. Bersama wartawan Tempo yang baru saja dibredel, ia aktif mengelola mingguan Media Indonesia pada tahun 1994-1996. Selanjunya bersama beberapa seniornya ia ikut menjadi bagian awal dari berdirinya Mingguan Ekonomi Kontan. Budi menjadi jurnalis Kontan dari tahun 1996 hingga 2001.

Budi juga terlibat dalam pengorganisasian protes terhadap kebijakan rektor UI saat itu. Kemunculan Setiadi yang sering protes menarik perhatian dekannya yang kerap menanyakan kapan dirinya akan diwisuda. Ia telah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1994, tetapi butuh beberapa tahun untuk menyelesaikan skripsinya. Ia akhirnya lulus dan menerima gelar sarjana sosial dalam komunikasi pada tahun 1996.

Budi melanjutkan studi pascasarjana di bidang manajemen pembangunan sosial di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI. Ia menyelesaikan studi pascasarjana pada tahun 2006.

Karier jurnalistik dan bisnis

Budi mulai bekerja sebagai jurnalis di mingguan Media Indonesia pada tahun 1994. Ia kemudian mendirikan mingguan bisnis Kontan bersama beberapa rekannya pada tahun 1996. Karena latar belakang aktivisnya, surat kabar Setiadi kerap memuat kritik pedas terhadap para pebisnis. Ia diperingatkan oleh pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama karena pemberitaannya yang keras.[7]

Ia bekerja sebagai jurnalis untuk penerbitan hingga tahun 2001. Ia kemudian pindah ke perusahaan Mandiri Telekomunikasi Utama, di mana ia menjadi presiden direkturnya dari tahun 2001 hingga 2009. Budi juga menjabat sebagai General Manager Tabloid Bangsa dari tahun 2008 hingga 2009. Budi juga memimpin beberapa perusahaan non media, seperti Daya Mandiri dari tahun 2010, NKR Investama, Sarana Global Informasi, dan Miitra Lumina Indonesia.

Karier politik

Budi terlibat dalam aksi protes yang terjadi pada saat jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Ia terpilih menjadi ketua Ikatan Alumni UI tahun itu dan menjabat hingga tahun 2001. Ia kemudian mendirikan Gerakan Sarjana Jakarta (GSJ) dan Masyarakat Profesi Indonesia (MPI). Bersama aktivis mahasiswa dan alumni UI lainnya, ia juga membidani lahirnya Keluarga Besar (KB) UI.

Sebagai politikus, Budi Arie pernah menjadi Kepala Balitbang PDI Perjuangan DKI Jakarta (2005-2010) dan juga Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta. Pada Pemilihan umum Legislatif 2009, Ia pernah mencalonkan diri sebagai Anggota DPR RI untuk Daerah Pemilihan DKI Jakarta III (Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu). Ia kemudian mendirikan PROJO, kelompok relawan darat terbesar pendukung Joko Widodo, sejak Agustus 2013. PROJO kemudian berjuang mengumpulkan aspirasi pencapresan Jokowi sebelum dideklarasikan PDIP secara resmi, melawan arus pencapresan Megawati dengan wakil presiden Jokowi yang ramai saat itu dan akhirnya Jokowi berhasil menjadi Presiden Ketujuh Republik Indonesia.

Selain menjadi Ketua Umum PROJO, saat ini Budi Arie juga menjadi Dewan Penasihat ILUNI UI.

Pencapresan Joko Widodo
Pada tahun 2013, menjelang proses Pilpres 2014, PDIP masih memiliki wacana untuk kembali mencalonkan Megawati, dengan beberapa pilihan Cawapres, antara lain Joko Widodo. Namun suara akar rumput lebih menginginkan adanya calon presiden baru dan dilakukannya proses penyegaran figur calon presiden. Projo terlibat dalam mengumpulkan suara dari akar rumput untuk pencalonan Jokowi Saat ini PROJO sudah berkembang dan hadir di seluruh Provinsi di Indonesia.

Peran ini terulangi kembali dalam Pemilu 2019. Projo mendukung pendaftaran kembali Joko Widodo sebagai calon presiden 2019, tetapi beberapa kontroversi sempat merebak seputar pemilihan calon wakil presiden. Setelah pertentangan mengenai siapa figur yang pantas, Jokowi akhirnya memilih Ma’ruf Amin. Projo menyatakan mendukung siapapun calon pendamping yang dipilih Jokowi.

Wakil menteri

Budi Arie Setiadi menyampaikan pidato di Universitas Indonesia.
Tiga hari setelah pelantikan Joko Widodo pada 20 Oktober 2019, ia mengumumkan susunan kabinetnya. Kabinet baru Joko Widodo memasukkan lawannya dalam pemilu, Prabowo Subianto, sebagai menterinya, sehingga memicu protes dari anggota Projo.

Projo juga mengkritisi penunjukan Wishnutama sebagai menteri meski kurang mendukung Joko Widodo dalam kampanye presidennya. Sekretaris Jenderal Projo, Handoko, membubarkan Projo setelah pengumuman kabinet baru, dengan alasan “kekecewaan yang mendalam” dan pelanggaran komitmen “melawan intoleransi dan kemauan untuk terlibat dalam politik”. Projo kemudian meluncurkan tagar #budiarieformenteri (Budi Arie Untuk Menteri) di Twitter.

Menteri

Pada Mei 2023, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate ditangkap setelah terlibat kasus korupsi korupsi. Kasus korupsi yang melibatkan Plate berpusat pada kenaikan biaya penggelaran base transceiver station di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Joko Widodo kemudian menunjuk Menteri Koordinator Mahfud MD sebagai penjabat menteri.

Kurang dari sebulan setelah penangkapannya, Joko Widodo menunjuk Setiadi sebagai menteri komunikasi dan informasi baru dalam perombakan kabinet menjelang pemilihan umum 2024. Perombakan ini secara luas dilihat sebagai langkah Presiden untuk mengangkat pendukungnya ke dalam pemerintahan sebelum pemilihan umum pada bulan Februari.[15] Usai dilantik menjadi menteri, Setiadi mengumumkan rencananya membentuk badan pengawasan konten media sosial.

Pencapresan Prabowo Subianto
Projo awalnya tidak menyatakan arah dukungan, walaupun berkali-kali didesak oleh relawan maupun partai untuk mendukung Ganjar Pranowo.[17] Budi Arie sendiri memberitahukan bahwa Projo masih menunggu sikap dan arahan langsung dari Jokowi.[18] Pada tanggal 6 Juli 2023, Relawan Prabowo berkunjung ke DPP Projo[19] Akhirnya pada tanggal 14 Oktober 2023, Projo secara resmi mengumumkan dukungan kepada Prabowo.

Kehidupan pribadi
Budi Arie Setiadi menikah dengan Zara Murzandina. Pasangan ini memiliki dua anak.

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Arie memiliki kekayaan senilai Rp101.000.000.000, terdiri dari tanah dan bangunan, tiga mobil, harta bergerak lainnya, surat berharga, kas dan setara kas, serta harta benda lainnya. Ia memiliki tanah dan bangunan di beberapa kota antara lain Tangerang Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Tangerang. Ia juga memiliki tanah warisan di beberapa lokasi di Bekasi dan Padang.(*)

Exit mobile version