MEDAN – Selasa, 24 September 2024, Wartawan Senior dari Kepri, Saibansah Dardani menjalankan tugas dari Dewan Pers untuk memberikan keterangan sebagai Ahli Pers Dewan Pers di Sumatera Utara (Sumut).
Tugas memberikan keterangan sebagai Ahli Pers Dewan Pers kepada penyidik Polres Binjai Polda Sumut itu tertuang dalam surat tugas Dewan Pers nomor: 93/ST.KSA/DP/IX/2024 tanggal 20 September 2024 sebagai Ahli Pers Dewan Pers. Surat tugas itu ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu.
Surat tugas Saibansah Dardani tersebut dikeluarkan Dewan Pers menjawab surat Kapolres Binjai Polda Sumut bernomor: K/07/IX/2024/Reskrim, tanggal 18 September 2024. Maka, keterangan Pemred BATAMTODAY.COM itu menjadi penting untuk melengkapi Berita Acara Permintaan (BAP) Keterangan Ahli Pers.
Sehingga, penyidik dapat segera merampungkan proses kasus yang sedang ditanganinya. Yaitu, dugaan tindak pidana Menghambat atau Menghalang-halangi Pers, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999, tentang pers.
Untuk sekadar berbagi informasi mengenai tugas Ahli Pers Dewan Pers dan apa dasar hukumnya? Berikut ini catatannya.
Ahli Pers dalam proses hukum diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memberikan panduan kepada para hakim dalam menangani kasus yang berkaitan dengan pers. Yaitu, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Permintaan Keterangan Ahli Pers Dewan Pers.
SEMA ini mengatur bahwa setiap perkara yang melibatkan sengketa pers, khususnya terkait pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau masalah jurnalistik lainnya, harus terlebih dahulu meminta pertimbangan atau keterangan dari Dewan Pers sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dan keahlian dalam bidang pers.
Meskipun SEMA No. 13 Tahun 2008 yang ditandatangani oleh DR. Harifin A Tumpa, SH. MH hanya berisi dua alenia saja, tetapi memiliki implikasi hukum dan poin-poin penting. Yaitu:
Pertama, Mengatur Peran Dewan Pers sebagai Ahli
Hakim di Indonesia diwajibkan untuk meminta pendapat atau keterangan dari Ahli Pers Dewan Pers apabila terdapat perkara yang berhubungan dengan sengketa pers. Terutama, pelanggaran UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan terkait pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Maka, Dewan Pers bertindak sebagai institusi yang menyediakan Ahli Pers untuk memberikan pandangan yang objektif dan profesional berdasarkan kode etik dan aturan jurnalistik.
Kedua, Sengketa Jurnalistik Diselesaikan di Dewan Pers
Dalam beberapa kasus, jika terdapat sengketa pemberitaan, penyelesaiannya bisa dilakukan melalui mediasi oleh Dewan Pers, tanpa harus langsung masuk ke ranah pidana atau pengadilan umum. Ini sesuai dengan fungsi Dewan Pers yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Yaitu, menjaga kemerdekaan pers di Indonesia.
Ketiga, Penguatan Kedudukan Dewan Pers
SEMA ini mempertegas peran Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang memberikan keterangan ahli dalam kasus yang melibatkan pers. Dengan demikian, Dewan Pers menjadi rujukan utama dalam memberikan keterangan terkait standar dan etika jurnalistik.
Lalu, apa sih tujuan SEMA No. 13 Tahun 2008 itu?
Pertama, Melindungi Kemerdekaan Pers
Dengan adanya kewajiban untuk meminta keterangan dari Dewan Pers, SEMA ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengadilan tidak sembarangan memproses kasus yang melibatkan wartawan atau media sebelum mendapatkan pertimbangan profesional dari Ahli Pers Dewan Pers.
Hal ini juga bertujuan untuk melindungi kebebasan pers dari potensi kriminalisasi yang bisa mengancam independensi wartawan di Indonesia.
Kedua, Mencegah Kriminalisasi Pers
SEMA No. 13 Tahun 2008 ini menghindarkan wartawan dari kriminalisasi yang tidak tepat terkait pelanggaran kode etik jurnalistik. Sebelum masuk ke ranah pidana, pengadilan wajib merujuk kepada Dewan Pers untuk melihat apakah sengketa tersebut merupakan pelanggaran jurnalistik yang bisa diselesaikan secara etis, bukan pidana.
Lalu, muncul pertanyaan, apakah SEMA No. 13 Tahun 2008 memiliki kekuatan hukum?
Ketahuilah, Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk mengeluarkan SEMA berdasarkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung memiliki wewenang mengatur peraturan perundang-undangan di bidang peradilan.
Oleh karena itu, SEMA memiliki kekuatan hukum yang sama dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sekali lagi, SEMA termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan dan mengikat secara hukum. Dalam hal kewenangan, SEMA didasarkan pada kewenangan pengaturan Mahkamah Agung, yang meliputi fungsi administrasi, pemberian nasihat, pengawasan, dan peradilan.(*)